Senin, 20 April 2009

Sertifikat Menjadi Tidak Lagi Penting

Judul ini saya ambil dari salah seorang motivator kenamaan, Krsihnamurti. Beliau menulis catatannya tentang hal ini di http://portalnlp.com juga dalam bukunya Share the Key yang merupakan salinan dari tulisan-tulisan beliau. Selengkapnya, tulisan beliau sebagai berikut......

Paling tidak buat bisnis training saya. Pasar akan menilai karya saya, bukan lagi sertifikat saya. Pengalaman selama tahun ini mengatakan bahwa pasar melihat karya nyata yang dicetak di lapangan adalah sertifikat yang sudah teruji dibanding sertifikat yang sudah dicetak di atas sehelai kertas. Sertifikat karya nyata lebih mahal nilainya.

Kita belajar dari kehidupan bahwa ijazah sekolah tidaklah menjadi jaminan keberhasilan kita di kehidupan ini. Ironis sekali bila kita sebagai trainer justru melabelkan diri dengan berbagai titel di depan dan di belakang nama kita yang memberikan kesan bahwa AKU ADALAH ORANG PINTAR. (Padahal untuk saat ini untuk menjadi orang pintar sangatlah murah. Anda hanya perlu minum TOLAK ANGIN saja, maka anda sudah mendapat gelar ORANG PINTAR, he..he..)

Untuk itulah, semua sertifikat yang saya peroleh selalu saya hanyutkan ke laut, untuk dipersembahkan lagi kepada sang pemilik dunia. Aku hanyalah alat Mu. Sertifikat hanyalah membuatku terbeban berat dan sering sekali terpeleset menjadi sombong. Jika Engkau masih mempercayaiku, maka aku percaya bahwa Engkaulah yang akan menjadi sertifikatku.


Itu adalah rangkaian kalimat Beliau yang ditulis dalam buku Key the Share. Kita boleh sepakat, boleh juga tidak. Tapi rangkaian kalimat Beliau dapat menjadi bahan pemikiran bagi kita para perawat, agar tidak memandang sebelah mata terhadap rekan-rekan kita yang telah memberikan sumbang sihnya kepada profesi ini, walaupun mereka tidak menyandang gelar Ners di belakang namanya.

Sabtu, 18 April 2009

Pendidikan Formal Identik dengan Kompetensi?

Tidak mudah memang untuk menjadi dewasa. Butuh waktu, butuh proses dan pasti butuh perjuangan. Seleksi alam telah mengajarkan kepada kita, bagaimana sampai hari ini kita masih bisa survive menjadi manusia. Dari sebuah sel telur dan zygot, membentuk ovum, sampai menjadi janin, lahir sebagai bayi mungil, anak-anak sampai kemudian dewasa seperti sekarang ini adalah sebuah bukti seleksi alam yang luar biasa. Dan kita mampu menghadapinya.

Kalau saja zygot kecil kita dulu kalah dalam bersaing, tentulah kita tidak akan terlahir. Kalau saja janin mungil dulu kita tidak mampu bertahan dalam rahim, tentulah hari ini kita tidak ada di sini. Kalau saja saat bayi waktu itu kita tidak kuat menahan berbagai serangan penyakit, tentu kita juga tidak ada saat ini.

Waktu, proses dan perjuangan panjang telah menghasilkan fenomena fisik diri kita menjadi dewasa. Tapi apakah kedewasaan fisik kita itu serta merta diikuti oleh kedewasaan emosi, kedewasaan pikiran dan kedewasaan spiritual kita? Ternyata tidak.

Orang yang memiliki kedewasaan fisik tidak serta merta emosi, pikiran dan spiritualnya dewasa. Ketiga hal inipun ternyata membutuhkan waktu, proses dan perjuangan yang cukup untuk dapat meraihnya.

Pendidikan formal saat ini, lebih mengedepankan hanya pada aspek fisik dan pikiran (intelektual). Kelulusan dilihat dari seberapa Indek Prestasi yang diraih. Sehingga banyak orang dengan aspek intelektual yang bagus tapi gagal dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Akibatnya kesuksesanpun sulit untuk didapat.

Walaupun dunia pendidikan saat ini sudah mulai memperhatikan soft skill bagi para anak didiknya, tapi pada kenyataannya, soft skill hanya sebagi bekal saja bagi anak didik, bukan sebagai alat ukur yang dapat mempengaruhi Indek Prestasi.

Efek berikutnya, masyarakatpun banyak yang hanya sekedar melihat ijazah yang dikantongi oleh seseorang, tanpa mau melihat kompetensi yang dimiliki seseorang. Tidak terkecuali di DUNIA PERAWATAN. Maka patut untuk dikaji, apakah pendidikan formal identik dengan kompetensi?

Minggu, 12 April 2009

Keputusan Teknologi Real Count Diambil Tanpa Tim Ahli?

detic.com
Pilihan teknologi untuk tabulasi nasional Pemilu 2009 atau real count patut dipertanyakan. Ada indikasi, keputusan untuk menggunakan teknologi ini diambil saat KPU mengalami kevakuman tenaga ahli IT.
ADVERTISEMENT

KPU membentuk tim ahli IT untuk keperluan Pemilu 2009 pada tanggal 10 Desember 2008. Tim yang dikepalai oleh Bambang Edi Leksono dan beranggotakan 7 orang itu melaporkan hasil kerja mereka 14 Januari 2009.

Tanggal 1 Februari, dua pimpinan tim ini, yakni Ketua Bambang Edi Leksono dan Sekretaris Hemat Dwi Nuryanto, tidak lagi dipekerjakan. Padahal 2 orang inilah yang paling berperan dalam pembahasan mengenai persiapan sistem informasi Pemilu 2009.

Dan perlu dicatat, tim ini tidak merekomendasikan penggunaan teknologi Intelligent Character Recognition (ICR) yang sekarang dipakai. "Kami tidak pernah merekomendasikan penggunaan teknologi ICR," ujar mantan Sekretaris Tim Teknis TI KPU Hemat Dwi Nuryanto kepada detikcom, Minggu (12/4/2009) malam.

Usai tim ini menyerahkan laporannya ke KPU, laporan yang menurut Hemat tidak pernah diindahkan, KPU mengadakan kerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Namun anehnya, pihak BPPT pun mengaku tidak turut serta dalam proses pengambilan kebijakan menyangkut penggunaan teknologi untuk tabulasi ini.

"Ketika kami masuk sistem sudah setengah jalan, seperti pengadaan barang dan spesifikasinya sudah diputuskan," aku Kepala BPPT Marzan A Iskandar saat diwawancarai beberapa waktu lalu.

Seperti telah diberitakan, BPPT menandatangani MoU dengan KPU pada tanggal 12 Maret 2009. Jika BPPT tidak berperan dalam pengambilan keputusan menyangkut penggunaan teknologi tabulasi, sedangkan tim TI KPU sebelumnya juga tidak, lantas atas saran siapa KPU memutuskannya?


Saya sebagai orang yang perhatian terhadap IT jadi heran. Bahkan saya sempat ngomong ke orang dekat saya kemarin sebelum berita ini dimuat, "KPU itu memang belum pantes kok menggunakan Teknologi Informasi, kecuali hanya gagah-gagahan dan menghabiskan anggaran."

Rabu, 08 April 2009

Hak Perawat dan Orang Sakit yang Terabaikan

Pemilu tinggal satu malam nanti. Besok penentuan nasib Bangsa ini melalui pemihan langsung anggota legislatif. Hiruk pikuk persiapan pemilu sudah dimulai satu tahun yang lalu. Tapi hari ini saya dan beberapa teman yang pedui terhadap agenda lima tahunan itu menjadi kecewa. Bagaimana tidak?

Lima tahun yang lalu teman-teman saya menjadi relawan di rumah sakit untuk membantu KPPS karena di rumah sakit ada TPS khusus yang diperuntukan bagi para pasien dan teman-teman perawat yang saat itu jaga pagi.

Mengapa saya katakan mereka menjadi relawan? Karena 3 hari sebelum hari pemilihan, mereka sudah mulai bekerja mendaftar para perawat yang akan memberikan suaranya melalui TPS rumah sakit, juga mendata para pasien yang diperkirakan pada hari H memberikan suaranya di TPS khusus rumah sakit. Kemudian pada hari H, mereka berkeliling ke seluruh ruang perawatan dengan membawa bilik suara, kotak suara dan kartu suara serta perlengkapan yang lain untuk melayani pasien-pasien yang sedang dirawat. Pernahkan kondisi itu terbayangkan oleh para pejabat KPU atau para anggota legislatif yang menyusun undang-undang pemilu?

Saya meyakini tidak. Karena yang terjadi saat ini, setidaknya di rumah sakit saya dan mungkin juga rumah sakit lain, TPS khusus untuk orang sakit dan para perawat yang notabene saat itu sedang merawat mereka yang sakit, sudah ditiadakan. Para perawat dan pasien disuruh untuk memberikan suaranya di TPS terdekat. Padahal kita tahu, TPS terdekat hanya menyediakan sisa kartu suara 2%, yang kata teman-teman saya para anggota TPS, diperkirakan hanya sekitar 5 - 8 kartu.

Apa artinya? Teman saya perawat yang jaga pagi besok sekitar 50 perawat dan pasien yang dirawat sekitar 300 orang, mereka diprediksi akan GOLPUT alias tidak bisa memberikan hak suaranya. Teman-teman saya untuk pulang ke TPS di rumah terlalu jauh, sementara TPS sekitar, kartu suaranya terbatas.

Sedangkan pasien, lebih tragis lagi. Tidak ada kesempatan sama sekali untuk memberikan suaranya, karena jangankan untuk berjalan, untuk duduk saja mereka banyak yang kelelahan. Dan sangat tidak etis ketika seorang pasien atas nama kepedulian terhadap masa depan bangsa, mereka harus didorong pakai brankard atau kursi roda dengan tangan diinfus, didorong melewati jalanan umum yang becek dan berdebu, ditambah dengan hiruk pikuknya jalan raya.

Akhirnya...bersama ratusan perawat yang lain di seluruh Indonesia dan ribuan pasien yang lain di seluruh Indonesia, mereka harus merelakan hak mereka "tidak mendapat kesempatan untuk memilih". Karena saya juga tidak yakin, bahwa TPS terdekat akan mau berkeliling ke rumah sakit sambil mengedarkan bilik dan kotak suara.